Alkisah di Kesultanan Deli Lama, kira-kira 10 km dari kampung Medan, hiduplah seorang putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan puteri itu tersohor kemana-mana, mulai dari Aceh sampai ke ujung utara Pulau Jawa.
Sultan Aceh jatuh cinta pada puteri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah karena penolakannya itu dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara kesultanan Aceh dan kesultanan Deli.
Dengan mempergunakan kekuatan gaib, seorang dari saudara Putri Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan yang seorang lagi sebagai sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.
Kesultanan Deli Lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa, Putera mahkota yang menjelma menjadi meriam meledak terbelah dua. Bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo. Meriam itu dikenal dengan Meriam Puntung (buntung).
Pangeran yang seorang lagi berubah menjadi naga yang disebut Ular Simangombus, mengundurkan diri melalui satu saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli. Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh.
Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur. Permohonan tuan Putri itu dikabulkan.
Tetapi, baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembus angin ribut yang maha dahsyat disusul oleh gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga. Dengan menggunakan rahangnya yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
***
Legenda di atas mungkin terkesan sebagai dongeng pengantar tidur. Ia
cerita yang anonim dan penuh keajaiban di luar logika. Begitulah
ciri-ciri sebuah folklore atau budaya rakyat. Meski begitu, kita dapat
menemukan jejak sejarah dari legenda ini.
Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli–tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.
Legenda ini memiliki banyak interpretasi yang berbeda. Putri Hijau mungkin memang cantik, tapi motivasi Raja Aceh mempersuntingnya adalah untuk memperluas kekuasaan dan menguasai perekonomian Selat Malaka.
Bagaimana dengan Meriam Puntung? Benda itu memang ada, satu di Istana Maimun, satu lagi di daerah Karo. Meriam ini merupakan hadiah Portugis dan memang terbelah dua ketika digunakan, mungkin karena terlalu panas.
Dan naganya? Diceritakan bahwa Putri Hijau melarikan diri bersama kakaknya melalui sebuah sungai dengan menggunakan perahu. Kepala perahu itu berbentuk naga.
***
Ini apersepsi dari materi menemukan jejak sejarah dalam folklore.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Putri_Hijau
http://batak.web.id/legenda-putri-hijau-diantara-batak-dan-haru-aru-sebuah-hipotesis/
kolomkita.detik.com -
somelus.wordpress.com
No comments:
Post a Comment