
Biografi ini tidak memiliki happy ending (tapi dalam kehidupan nyata, yang namanya happy ending itu kayak gimana, sih?). Inggit adalah wanita sederhana, mantan ibu kos Soekarno, yang lebih tua 13 tahun darinya. Selama Soekarno berjuang, dipenjara, dan dibuang ke Bengkulu, Inggit menemani, bahkan menafkahi keluarga.
Ketika akhirnya Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi presiden, dengan siapakah ia memasuki istana? Dengan Fatmawati, anak angkat Inggit yang cantik. Inggit menolak dimadu dan memilih bercerai setelah menikah 20 tahun, lalu pulang ke Bandung.
Seperti drama, bukan? Ya, hanya saja unsur sejarahnya kental. Pemikiran para tokoh yang berkumpul di rumah Inggit, peristiwa-peristiwa bersejarah di masa itu, menegaskan bahwa ini bukan sekedar cerita hidup seorang perempuan dari Bandung.
Saat itu saya mnemukan bahwa biografi adalah pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap Sejarah. Di sekolah, saya menemukan sejarah sebagai sesuatu yang terlepas dari kehidupan, kering, semata hanya sebagai ilmu. Membaca buku ini saya baru sadar bahwa sejarah adalah kehidupan, yang isinya juga manusia, bukan hanya peristiwa. Ada pemikiran, tapi juga perasaan.
Melihat sejarah sebagai kisah, tentu tak bisa terlepas dari unsur subjektifitas. Orang lain dalam hidup Soekarno, misalnya, akan berbeda pandangan dengan Inggit. Itulah mengapa kita menemukan satu peristiwa ditulis menjadi beberapa kisah sejarah, masing-masing berbeda pendapat tentang masalah yang sama.
No comments:
Post a Comment